Kumpulan CERPEN Anak, Remaja dan Traveling penulis

Sabtu, 07 Mei 2016

BERSIT RINDU

Foto dari Instagram/ FB. Adam Bishawa
Sumber : Instagram/FB. Adam Bishawa

"Aku ingin hidup seperti dulu,“ keluh Radit, matanya menerawang jauh ke suatu masa, sedang tubuh kecilnya terkulai pada tembok biru muda, warna favorit tantenya.

Seorang gadis tampak acuh dengan curhat si bocah, ia sibuk menggerakkan jemarinya di atas buku, mengikuti kecepatan lagu yang mengalun dari mini compo.
“Bosen hidup begini.“
“Alah kau, anak kecil tahu apa…ngomong persis pengusaha baru bangkrut saja.”

“Aku pengin ketemu, Mbahh….“

Windu bergidik, kelincahan jemarinya mendadak mogok, “Kamu habis mimpi ketemu Mbah kakung, yach?“ selidiknya.

Si bocah menggeleng, “Tapi…aku pengin ketemu Mbah,” rajuknya. ”Dulu aku suka minta gendong sama Mbah. Minta permen juga pernah, jalan-jalan ke sawah juga iya….“
Nich anak sok melankolis, berbakat tuch jadi artis. Ngomong aneh-aneh, padahal sunat aja belum. Gaya bicara sok serius, fantasi kemana-mana…Mendadak Windu bersungut, Alah paling juga berpeluang jadi artis lokal. Masih hebat diriku…interrr…lokal! Kkkkkk....  
“Tante, lihat video-ku sama Mbah Kakung yuk.“
“Ah, apa bagusnya? Cuma adegan Mbah lagi duduk, kamu lagi asyik jongkok. Skenario macam apa itu?”
Si bocah diam mendekap kedua dengkulnya, matanya masih saja menerawang jauh ke suatu masa.
Ayah…Windu terhenyak, tanpa sadar ujung penanya menuliskan kata itu. Ia melirik si bocah, bawa efek buruk nich anak. Gadis itu berusaha mengembalikan konsentrasi pada alunan lagu, tapi tak bisa. Bersit rindu berdesir mengaliri jiwanya.
Windu menunduk, tarikan nafasnya melambat, degup jantung pun seolah selaraskan irama. Sepanjang hidup, mungkin aku tak pernah bilang sayang padamu. Hal yang sulit kuucapkan, karena aku lebih nyaman memendamnya dalam. Aku mungkin tak pernah bilang mengagumimu, tapi Ayah…hingga detik ini aku masih mengingat bagaimana keikhlasanmu. Keikhlasan tanpa lelah, menjalani hidup yang tak mudah.
Lebih dari 20 tahun tak pernah kudengar bibirmu berkata, “Tuhan tak lelahkah Engkau, menyiksaku dalam derita panjang,“ atau sekedar berkeluh, “Tak salah Engkau memilihku menjalani semua ini, sedang diluar sana begitu banyak orang sehat dalam kubangan dosa.“
Tak pernah sekalipun kau salahkan takdir yang tergaris, kau memilih diam dan menjalani hidup tenang tanpa perlu bertanya, ‘Mengapa?‘.
Mata gadis itu mulai berembun, ia segera menarik nafas kuat, meski sesak menghimpit rasa, ia tak mau air mata menitik. Ayahnya selalu mengajarkan tentang ketegaran, berpantang untuk mengasihani diri. Seorang hamba hanyalah perlu bekerja keras setulus hati, jalani hidup yang sekejap ini.
Aku…aku masih ingat saat Ayah melangkah ringan untuk mengajar kelas paket B. Langit terlihat hitam pekat, engkau kayuh dengan senang sepeda tua favoritmu, sedang motor teronggok di sudut ruangan. Kau anggap ini sebagai kebahagiaan, suatu pengabdian diri pada kehidupan. Tak pernah kau ungkit tipisnya amplop yang disodorkan aparat desa. Kau juga tak pernah menghitung sudah berapa bulan benda itu tak kunjung datang.
“Kok pulang?“ tanyaku waktu itu melihat kepulangan Ayah.
“Muridnya tak ada yang datang,“ balasmu enteng, lalu kau pun tanggalkan baju batikmu. Tak ada keluh kesah, tak ada semburat kecewa apalagi amarah. Terbukti minggu berikutnya engkau pun berangkat dengan tenang, meski tumpukan tugas dari kantor untuk sesaat harus kau abaikan. Kau tak merasa dirugikan, engkau malah mencemaskan ketidakhadiran murid paket B-mu di kelas. Satu hal yang aneh, kusaksikan bagaimana guru lebih bersemangat daripada anak didik.
“Tante, melamun?“ ucap Radit membuyarkan keheningan.
“Nggak,“ bantah gadis itu, ia tutup buku catatan lagunya. “Sana pulang!…tidur siang.“
Radit menggeleng lalu naik ke pembaringan.

“Tidurnya jangan di sini, punya kamar sendiri juga.“ Protes Windu, ia menarik-narik bantalnya yang terlanjur didekap si bocah. Dia tak bergeming, tangannya makin kuat mendekap bantal, matanya mulai terpejam.

“Ahh…dasar bengal, nggak pernah patuh kalo dikasih tahu,“ gerutu Windu.

Suasana kembali hening, memaksa fikiran gadis itu kembali terbang. Ayah…tak satu pun dariku yang bisa kau banggakan tapi aku percaya kau tak pernah kecewa. Selalu menerimaku apa adanya, tak pernah menuntut lebih. ‘Hiduplah sebaik yang kau bisa, jangan pernah merepotkan orang lain’ begitu salah satu nasehat yang sering kau dengungkan kala berdiskusi tentang makna hidup.

Menunduk dalam gadis itu, nuraninya mulai bergolak, Tuhan…ma’afkan ketidaksempurnaannya dalam mencintai-Mu. Sepanjang hidup ia selalu berjuang mempertahankan firman-Mu, senantiasa menghiasi ruang batin. Tanpa keluh, ia pasrahkan menjalani hidup seperti yang Engkau gariskan hingga tarikan nafas terakhir. Yaa Rahman…yaa Rahim…ampuni segala khilafnya, terima segala amalnya dan…anugerahkan peristirahatan ternyaman di indah surga-Mu. Aamiin….









Read More

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Popular Posts

Categories

Mengenai Saya

Foto saya
Assalamu'alaikum.... Riak dan gelombang perjalanan hidup, senantiasa menggumpal menjadi sebuah cerita. Apa salahnya berbagi bahagia ataupun gulana denganmu? Moga bermanfaat untuk pembaca sekalian, Aamiin....
Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © PoHon CerPen | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com