
Sumber : Instagram/FB. Adam Bishawa
"Aku
ingin hidup seperti dulu,“ keluh Radit, matanya menerawang jauh ke suatu masa, sedang tubuh kecilnya terkulai pada tembok biru muda, warna favorit tantenya.
Seorang
gadis tampak acuh dengan curhat si bocah, ia sibuk menggerakkan
jemarinya di atas buku, mengikuti kecepatan lagu yang mengalun dari mini compo.
“Bosen
hidup begini.“
“Alah kau, anak kecil tahu apa…ngomong persis pengusaha baru bangkrut saja.”
“Aku
pengin ketemu, Mbahh….“
Windu
bergidik, kelincahan jemarinya mendadak mogok, “Kamu habis mimpi ketemu Mbah
kakung, yach?“ selidiknya.
Si
bocah menggeleng, “Tapi…aku pengin ketemu Mbah,” rajuknya. ”Dulu aku suka minta
gendong sama Mbah. Minta permen juga pernah, jalan-jalan ke sawah juga iya….“
Nich anak sok
melankolis, berbakat tuch jadi artis. Ngomong aneh-aneh, padahal sunat aja belum. Gaya bicara sok serius, fantasi kemana-mana…Mendadak
Windu bersungut, Alah paling juga
berpeluang jadi artis lokal. Masih hebat diriku…interrr…lokal! Kkk…kkk....
“Tante,
lihat video-ku sama Mbah Kakung yuk.“
“Ah,
apa bagusnya? Cuma adegan Mbah lagi duduk, kamu lagi asyik jongkok. Skenario macam
apa itu?”
Si
bocah diam mendekap kedua dengkulnya, matanya masih saja menerawang jauh ke suatu
masa.
Ayah…Windu
terhenyak, tanpa sadar ujung penanya menuliskan kata itu. Ia melirik si bocah, bawa efek buruk nich anak. Gadis itu
berusaha mengembalikan konsentrasi pada alunan lagu, tapi tak bisa. Bersit
rindu berdesir mengaliri jiwanya.
Windu
menunduk, tarikan nafasnya melambat, degup jantung pun seolah selaraskan irama. Sepanjang hidup, mungkin aku tak pernah
bilang sayang padamu. Hal yang sulit kuucapkan, karena aku lebih nyaman
memendamnya dalam. Aku mungkin tak pernah bilang mengagumimu, tapi Ayah…hingga
detik ini aku masih mengingat bagaimana keikhlasanmu. Keikhlasan tanpa lelah,
menjalani hidup yang tak mudah.
Lebih dari 20 tahun tak
pernah kudengar bibirmu berkata, “Tuhan tak lelahkah Engkau, menyiksaku dalam
derita panjang,“ atau sekedar berkeluh, “Tak salah Engkau memilihku menjalani
semua ini, sedang diluar sana begitu banyak orang sehat dalam kubangan dosa.“
Tak pernah sekalipun kau
salahkan takdir yang tergaris, kau memilih diam dan menjalani hidup tenang
tanpa perlu bertanya, ‘Mengapa?‘.
Mata
gadis itu mulai berembun, ia segera menarik nafas kuat, meski sesak menghimpit
rasa, ia tak mau air mata menitik. Ayahnya selalu mengajarkan tentang ketegaran,
berpantang untuk mengasihani diri. Seorang hamba hanyalah perlu bekerja keras
setulus hati, jalani hidup yang sekejap ini.
Aku…aku masih ingat
saat Ayah melangkah ringan untuk mengajar kelas paket B. Langit terlihat hitam
pekat, engkau kayuh dengan senang sepeda tua favoritmu, sedang motor teronggok
di sudut ruangan. Kau anggap ini sebagai kebahagiaan, suatu pengabdian diri
pada kehidupan. Tak pernah kau ungkit tipisnya amplop yang disodorkan aparat
desa. Kau juga tak pernah menghitung sudah berapa bulan benda itu tak kunjung
datang.
“Kok
pulang?“ tanyaku waktu itu melihat kepulangan Ayah.
“Muridnya
tak ada yang datang,“ balasmu enteng, lalu kau pun tanggalkan baju batikmu. Tak
ada keluh kesah, tak ada semburat kecewa apalagi amarah. Terbukti minggu
berikutnya engkau pun berangkat dengan tenang, meski tumpukan tugas dari kantor
untuk sesaat harus kau abaikan. Kau tak merasa dirugikan, engkau malah mencemaskan
ketidakhadiran murid paket B-mu di kelas. Satu hal yang aneh, kusaksikan
bagaimana guru lebih bersemangat daripada anak didik.
“Tante,
melamun?“ ucap Radit membuyarkan keheningan.
“Nggak,“
bantah gadis itu, ia tutup buku catatan lagunya. “Sana pulang!…tidur siang.“
Radit
menggeleng lalu naik ke pembaringan.
“Tidurnya
jangan di sini, punya kamar sendiri juga.“ Protes Windu, ia menarik-narik bantalnya yang terlanjur didekap si bocah. Dia tak bergeming, tangannya makin kuat mendekap bantal, matanya mulai terpejam.
“Ahh…dasar
bengal, nggak pernah patuh kalo dikasih tahu,“ gerutu Windu.
Suasana
kembali hening, memaksa fikiran gadis itu kembali terbang. Ayah…tak satu pun dariku yang bisa kau banggakan tapi aku percaya kau
tak pernah kecewa. Selalu menerimaku apa adanya, tak pernah menuntut lebih. ‘Hiduplah
sebaik yang kau bisa, jangan pernah merepotkan orang lain’ begitu salah satu nasehat
yang sering kau dengungkan kala berdiskusi tentang makna hidup.
Menunduk dalam gadis itu, nuraninya mulai
bergolak, Tuhan…ma’afkan
ketidaksempurnaannya dalam mencintai-Mu. Sepanjang hidup ia selalu berjuang
mempertahankan firman-Mu, senantiasa menghiasi ruang batin. Tanpa keluh, ia
pasrahkan menjalani hidup seperti yang Engkau gariskan hingga tarikan nafas
terakhir. Yaa Rahman…yaa Rahim…ampuni segala khilafnya, terima segala amalnya dan…anugerahkan
peristirahatan ternyaman di indah surga-Mu. Aamiin….
![]() |
Sumber : Instagram/FB. Adam Bishawa |
"Aku ingin hidup seperti dulu,“ keluh Radit, matanya menerawang jauh ke suatu masa, sedang tubuh kecilnya terkulai pada tembok biru muda, warna favorit tantenya.
Seorang
gadis tampak acuh dengan curhat si bocah, ia sibuk menggerakkan
jemarinya di atas buku, mengikuti kecepatan lagu yang mengalun dari mini compo.
“Bosen
hidup begini.“
“Alah kau, anak kecil tahu apa…ngomong persis pengusaha baru bangkrut saja.”
“Aku pengin ketemu, Mbahh….“
Windu bergidik, kelincahan jemarinya mendadak mogok, “Kamu habis mimpi ketemu Mbah kakung, yach?“ selidiknya.
Si
bocah menggeleng, “Tapi…aku pengin ketemu Mbah,” rajuknya. ”Dulu aku suka minta
gendong sama Mbah. Minta permen juga pernah, jalan-jalan ke sawah juga iya….“
Nich anak sok
melankolis, berbakat tuch jadi artis. Ngomong aneh-aneh, padahal sunat aja belum. Gaya bicara sok serius, fantasi kemana-mana…Mendadak
Windu bersungut, Alah paling juga
berpeluang jadi artis lokal. Masih hebat diriku…interrr…lokal! Kkk…kkk....
“Tante,
lihat video-ku sama Mbah Kakung yuk.“
“Ah,
apa bagusnya? Cuma adegan Mbah lagi duduk, kamu lagi asyik jongkok. Skenario macam
apa itu?”
Si
bocah diam mendekap kedua dengkulnya, matanya masih saja menerawang jauh ke suatu
masa.
Ayah…Windu
terhenyak, tanpa sadar ujung penanya menuliskan kata itu. Ia melirik si bocah, bawa efek buruk nich anak. Gadis itu
berusaha mengembalikan konsentrasi pada alunan lagu, tapi tak bisa. Bersit
rindu berdesir mengaliri jiwanya.
Windu
menunduk, tarikan nafasnya melambat, degup jantung pun seolah selaraskan irama. Sepanjang hidup, mungkin aku tak pernah
bilang sayang padamu. Hal yang sulit kuucapkan, karena aku lebih nyaman
memendamnya dalam. Aku mungkin tak pernah bilang mengagumimu, tapi Ayah…hingga
detik ini aku masih mengingat bagaimana keikhlasanmu. Keikhlasan tanpa lelah,
menjalani hidup yang tak mudah.
Lebih dari 20 tahun tak
pernah kudengar bibirmu berkata, “Tuhan tak lelahkah Engkau, menyiksaku dalam
derita panjang,“ atau sekedar berkeluh, “Tak salah Engkau memilihku menjalani
semua ini, sedang diluar sana begitu banyak orang sehat dalam kubangan dosa.“
Tak pernah sekalipun kau
salahkan takdir yang tergaris, kau memilih diam dan menjalani hidup tenang
tanpa perlu bertanya, ‘Mengapa?‘.
Mata
gadis itu mulai berembun, ia segera menarik nafas kuat, meski sesak menghimpit
rasa, ia tak mau air mata menitik. Ayahnya selalu mengajarkan tentang ketegaran,
berpantang untuk mengasihani diri. Seorang hamba hanyalah perlu bekerja keras
setulus hati, jalani hidup yang sekejap ini.
Aku…aku masih ingat
saat Ayah melangkah ringan untuk mengajar kelas paket B. Langit terlihat hitam
pekat, engkau kayuh dengan senang sepeda tua favoritmu, sedang motor teronggok
di sudut ruangan. Kau anggap ini sebagai kebahagiaan, suatu pengabdian diri
pada kehidupan. Tak pernah kau ungkit tipisnya amplop yang disodorkan aparat
desa. Kau juga tak pernah menghitung sudah berapa bulan benda itu tak kunjung
datang.
“Kok
pulang?“ tanyaku waktu itu melihat kepulangan Ayah.
“Muridnya
tak ada yang datang,“ balasmu enteng, lalu kau pun tanggalkan baju batikmu. Tak
ada keluh kesah, tak ada semburat kecewa apalagi amarah. Terbukti minggu
berikutnya engkau pun berangkat dengan tenang, meski tumpukan tugas dari kantor
untuk sesaat harus kau abaikan. Kau tak merasa dirugikan, engkau malah mencemaskan
ketidakhadiran murid paket B-mu di kelas. Satu hal yang aneh, kusaksikan
bagaimana guru lebih bersemangat daripada anak didik.
“Tante,
melamun?“ ucap Radit membuyarkan keheningan.
“Nggak,“
bantah gadis itu, ia tutup buku catatan lagunya. “Sana pulang!…tidur siang.“